Kamis, 20 November 2008

soaialisasi

Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process a child learns to be a participant member of society” –proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpatisipasi dalam masyarakat. Definisi ini disajikan dalam suatu pokok bahasan berjudul society in man; dari sini tergambar pandangannya bahwa melalui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.
PEMIKIRAN MEAD
Salah satu teori peran yang dikaitkan dengan sosialisasi ialah teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Society (1972), Mead menguraikan tahap pengembangan diri manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut.
Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata ”makna” yanng diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan ”mam”. Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang yang berada disekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orang tuanya. Misalnya, atau peran orang dewasa lain dengan siapa sering berinteraksi. Dengan demikian kita sering melihat anak kecil yang di kala bermain meniru peran yang dijalankan ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, dan sebagainya. Pada tahap ini sang anak belum sepenuhnya memahami isi peran-peran yang ditirukannya. Seorang anak dapat meniru kelakuan ayah atau ibu yang berangkat ketempat kerja, tetapi mereka tidak memahami alasan ayah atau ibu untuk bekerja dan makna kegiatan yang dilakukan oleh ayah atau ibu ditempat kerja. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai.
Tahap siap bertindak (Game Stage)
Pada tahap ini dimana seorang anak tidak hanya mengetahui peran yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peran yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Contoh yang diajukan Mead adalah keadaan dalam suatu pertandingan: seorang anak bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang lain pada dirinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut. Di kala bermain sebagai penjaga gawang dalam suatu pertandingan sepak bola, misalnya, ia mengetahui peran-peran yang dijalankan oleh para pemain lain (baik kesalahan kawan maupun lawan).Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkembang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkatkan sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
Tahap penerima norma kolektif (Generalized Stage)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya tetapi juga dengan masyarakat luas karena telah memahami peranannya sendiri serta oran lain dengan siapa ia berinteraksi.Selaku anak ia telah memahami peran yang dijalankan orang tua; selaku siswa ia memahami peran guru; selaku anggota Gerakan Pramuka ia memahami peran para pembinanya. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhya. Menurut Mead, jika seorang telah mencapai tahap ini maka telah mempunyai suatu diri. Dari pandangan-pandangan Mead ini nampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi denagn orang lain.
PEMIKIRAN COOLEY
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut Cooley konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh Cooleydiberi nama looking-glass self. Nama ini diberikan olehnya karena ia melihat analogi anatara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin. Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap sebagai berikut. Pada tahap pertama seseorang mempunyai presepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba. Pada tahap kedua seseorang mempunyai presepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penam-pilannya. Dengan pandangan bahwa si anak adalah yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa mucul dari perlakuan orang terhadap dirinya. Misalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkan kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakan sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu. Dengan adanya penilaian bahwa sang anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri. Apa yang terjadi bila seorang anak tidak mengalami sosialisasi? Karena kemampuan seseorang untuk mempunyai diri untuk berperan sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi, maka seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children).
AGEN SOSIALISASI
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Fuller dan Jacobs (1973:168-208) mengidentifikasikan empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, lembaga pendididkan. Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain.
Keluarga
Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Pada masyarakat yang mengenai sistem keluarga luas (extended family) agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan dapat mencakup pula nenek, kakek, paman, bibi, dan sebagainya. Gertrude Jaeger (1977) mengemukakan bahwa peran para agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orang tua, sangat penting. Sang anak (khususnya pada masyarakat modern Barat) sangat tergantung pada orang tua dan apa yang terjadi antara orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahui orang luar. Dengan demikian anak tidak terlindungterhadap peyalahgunaan kekuasaan yang sering dilakukan oleh orang tua terhadap mereka, misalnya, penganiayaan, pemerkosaan, dan sebagainya. Arti penting agen sosialisasi pertama pun terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant others pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal; ia mulai berkomunikasi bukan saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui pancaindra lain, terutama sentuhan fisik.
Teman Bermain
Teman bermain pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Disini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu. Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga, kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajari dirumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat, maka alam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah seorang anak memasuki game stage mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok bermain juga seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.
Sekolah
Disini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajari dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkan untuk penguasaan peran-peran baru dikemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tua. Sejumlah ahli sosiologi memusatkan perhatian pada perbedaan sosialisasi yang berlangsung dalam keluarga dengan sisitem pendidikan formal. Robert Dreeben (1968), misalnya, berpendapat bahwa yang dipelajari anak disekolah –di samping membaca, menulis, berhitung—adalah aturan mengenai kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesifisitas. Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh dikotomiyang dikembangkan oleh Talcott Parsons—misalnya antara ascription dan achievement, particularism dan universalism, diffuseness dan specificity. Aturan kedua yang dipelajari anak melibat prestasi. Aturan ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenai universalisme, aturan mengenai universalisme merupakan lawan aturan mengenai partikularisme. Spesifisitas merupakan aturan keempat dan merupakan kebalikan dari kekaburan. Dari pandangan Dreebern dapat dilihat bahwa sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru yang diperlukan bagi anggota masyarakat, dan aturan tersebut sering berbeda dan bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung anak di rumah.
Media Massa
Light, Keller dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media massa—yang terdiri atas media cetak maupun elektronik merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap perilaku khalayak. Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak kearah perilaku prososial maupun antisosial. Media massa juga sering digunakan untuk mengukur, membentuk atau mempengaruhi pendapat umum. Kesadaran arti penting media massa bagi sosialisasi pun telah mendorong para pendidik untuk memanfaatkan media massa. Dengan sendirinya agen sosialisasi yang ada dalam masyarakat tidak terbatas pada agen-agen yang telah disebutkan Fuller dan Jacobs—suatu hal yang telah mereka sadari pula. Kita tentu tahu bahwa di bidang pendidikan dijumpai sistem pendidikan seumur hidup yang memungkinkan warga masyarakat yang telah bekerja untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi, dan bahwa dari luar lembaga pendidikan formal sosialisasi dilakukan pula oleh agen-agen informal ataupun nonformal seperti kursus-kursus dan lembaga-lembaga pendidikan agama.
KESEPADANAN PESAN AGEN SOSIALISASI BERLAINAN
Sebagaimana telah kita lihat dari pemikiran Dreeben mengenai sosialisasi disekolah, maka pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi yang berlainan tidak selamanya sepadan satu dengan yang lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin berbeda dan bahkan mungkin bertentangan dengan apa yang diajarkan sekolah. Hal serupa berlaku pula bagi agen-agen sosialisasi lain. Kelakuan yang dilarang oleh keluarga maupun sekolah, misalnya, merokok, minum-minuman keras, pelanggaran susila atau penyalahgunaan narkotika. Sekolah berusaha mendorong siswanya untuk menaati aturan sekolah. Media massa sering menayangkan gaya hidup yang tidak dapat diterima oleh keluarga dan sekolah.
SOSIALISASI PRIMER DAN SEKUNDER
Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia.
Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seseorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas didalamnya. Warna kpribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kpribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami ’pencabutan’ identitas diri yang lama.
POLA SOSIALISASI
Sosialisasi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan oranng tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Beberapa tahun yang lalu masyarakat kita dihebohkan oleh beberapa kasus hukuman fisik yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak mereka yang dinilai tidak menaati perintah sehingga mengakibatkan kematian anak tersebut. Kasus ini merupakan contoh ekstrem mengenai sosialisasi represif. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.